DAKWAH
KULTURAL DAN PEMURNIAN AJARAN ISLAM
Oleh: H.
Syamsul Hidayat
Wakil Ketua MTDK
PP Muhammadiyah
Pengertian
dan Landasannya.
Dakwah
Kultural sebagai strategi perubahan sosial bertahap sesuai dengan kondisi
empirik yang diarahkan kepada pengembangan kehidupan Islami sesuai dengan paham
Muhammadiyah, yang bertumpu para pemurnian pemahaman dan pengamalan Ajaran
Islam dengan menghidupan ijtihad dan tajdid. Sehingga purifikasi dan pemurnian
Ajaran Islam tidak menjadi kaku, rigid dan eksklusif, tetapi terbuka dan
memiliki rasionalitas yang tinggi untuk dapat diterima oleh semua pihak. Dengan
memfokuskan pada penyadaran iman melalui potensi kemanusiaan, diharapkan umat
dapat menerima dan memenuhi seluruh ajaran Islam yang kaffah, secara bertahap
sesuai dengan keragaman sosial ekonomi, budaya, politik dan potensi yang
dimiliki oleh setiap kelompok umat.[1]
Atas dasar
pemikiran tersebut dakwah kultural dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu
pengertian umum (makna luas) dan pengertian khusus (makna sempit). Dakwah
kultural dalam arti luas dipahami sebagai kegiatan dakwah dengan memperhatikan
potensi dan kecenderungan manusia dengan makhluk berbudaya dalam rangka
menghasil kultur alternatif yang kultur Islam, yakni berkebudayaan dan
berperadaban yang dijiwai oleh pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran
Islam, yang murni bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah, dan melepaskan diri
dari kultur dan budaya yang dijiwai oleh kemusyrikan, takhayul, bid’ah dan
khurafat.[2]
Adapun dalam
pengertian khusus, dakwah kultural adalah kegiatan dakwah dengan memperhatikan,
memperhitungkan dan memanfaatkan adat-istiadat, seni, dan budaya loka, yang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dalam proses menuju kehidupan Islami,
sesuai dengan manhaj Muhammadiyah, yang bertumpu pada prinsip salafiyyah
(purifikasi) dan tajdidiyyah (pembaharuan).[3]
Munculnya konsep
dakwah kultural, sebagaimana diputuskan oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah, Januari 2002, didorong oleh
keinginan Muhammadiyah untuk mengembangkan sayap dakwahnya menyentuh ke seluruh
lapisan umat Islam yang beragam sosial kulturalnya. Sehingga dengan dakwah
kultural, Muhammadiyah ingin memahami pluralitas budaya, sehingga dakwah yang
ditujukan kepada mereka dilakukan dengan dialog kultural, sehingga akan
mengurangi benturan-benturan yang selama ini dipandang kurang menguntungkan,
tetapi tetap berpegang pada prinsip pemurnian (salafiyyah) dan
pembaharuan (tajdidiyah).
Dengan demikian,
dakwah kultural sebenarnya akan mengokohkan prinsip-prinsip dakwah dan amar
makruf nahi munkar Muhammadiyah yang bertumpu pada tiga prinsip Tabsyir, Islah
dan Tajdid (TIT).
Prinsip
tabsyir, adalah upaya
Muhamamdiyah untuk mendekati dan merangkul setiap potensi umat Islam (umat
ijabah) dan umat non-muslim (umat dakwah) untuk bergabung dalam naungan petunjuk
Islam, dengan cara-cara yang bijaksana, pengajaran dan bimbingan yang baik, dan
mujadalah (diskusi dan debat) yang lebih baik. Kepada umat Ijabah (umat yang
telah memeluk Islam), penekanan tabsyir kepada peningkatan dan penguatan visi
dan semangat dalam berislam. Sementara kepada
umat dakwah (umat non-muslim) adalah memberikan pemahaman yang benar dan
menarik tentang Islam, serta merangkul mereka untuk bersama-sama membangun
masyarakat dan bangsa yang damai, aman, tertib dan sejahtera. Dengan cara ini
dakwah kepada non-muslim tidak diarahkan untuk memaksa mereka memeluk Islam.
Tetapi membawa mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam, sehingga
mereka tertarik kepada Islam, bahwa dengan sukarela memasuki Islam.[4]
Prinsip Islah, yaitu upaya membenahi dan memperbaiki
cara berislam yang dimiliki oleh umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah,
dengan cara memurnikannya sesuai petunjuk syar’I yang bersumber pada Al-Quran
dan Sunnah. Ini dapat diartikan bahwa setelah melakukan dakwah dengan tabsyir,
maka umat yang bergabung diajak bersama-sama memperbaiki pemahaman dan
pengamalannya terhadapIslam.
Umat yang telah
bergabung dalam dakwah tabsyiriyah memiliki background yang beragam baik sosial
ekonomi, sosial budaya, maupun latar belakang pendidikannya. Keragaman tersebut
akan membawa pengaruh kepada cara pandang, pemahaman dan pengamalan Islam, yang
dalam banyak hal perlu diperbaiki dan dibenahi sesuai dengan pemahaman
keagamaan Muhammadiyah, yang bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah.[5]
Prinsip
tajdid, sesuai dengan
maknanya, prinsip ini mengupayakan pembaharuan, penguatan dan pemurnian atas
pemahaman, dan pengamalan Islam yang dimiliki oleh umat ijabah, termasuk pelaku
dakwah itu sendiri.
Baik prinsip
islah maupun tajdid banyak dilakukan dengan cara menyelenggarakan pengajian dan
ta’lim baik bersifat umum maupun terbatas. Juga mendirikan sekolah-sekolah,
madrasah-madrasah dan pondok pesantren.
Dakwah Kultural dan Pengembangan
Masyarakat
Terminologi
Dakwah kultural memberikan penekanan makna yang berbeda dari dakwah
konvensional yang disebut juga dengan dakwah struktural. Dakwah kultural
memiliki makna dakwah Islam yang cair dengan berbagai kondisi dan aktivitas
masyarakat. Sehingga bukan dakwah verbal, yang sering dikenal dengan dakwah bil
lisan (atau tepatnya dakwah bi lisan al-maqal), tetapi dakwah aktif dan
praktis melalui berbagai kegiatan dan potensi masyarakat sasaran dakwah, yang
sering dikenal dengan dakwah bil hal (atau tepatnya dakwah bi lisan al-hal).
Dengan makna di
atas, dakwah kultural Muhammadiyah sebenarnya mengembangkan makna dan
implementasi Geraakan Jamaah dan Gerakan Dakwah Jamaah (GJ-GDJ) yang diputuskan
oleh Muktamar Muhammadiyah ke 37 di
Yogyakarta, tahun 1967, yang disempurnakan pada Rapat Kerja Nasional dan Dialog
Dakwah Nasional, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1987 di
Kaliurang.
Dakwah dengan
pengembangan masyarakat dilakukan dengan pengembangan sumber daya manusia,
yaitu memberikan bekal sesuai dengan kebutuhan dan kecenderungan kehidupannya,
dengan memasukkan prinsip-prinsip kehidupan Islami. Sehingga mereka dapat
melakukan pemenuhan kebutuhan, kepentingan dan kecenderungan hidupnya dengan
bimbingan nilai-nilai ajaran Islam.
Dakwah Kultural dan Pluralitas Budaya
Interaksi
Muhammadiyah dengan pluralitas budaya, dan lebih khusus seni budaya dan
komunitasnya telah melahirkan sejumlah ketegangan, baik yang bersifat kreatif
maupun destruktif.
Ketegangan
tersebut bersumber pada realitas historis-sosiologis, bahwa banyaknya
kebudayaan dan seni budaya pada khususnya yang dikembangkan berasal dari
ritual-ritual keagamaan sebelum kedatangan Islam. Sehingga banyak seni-budaya
dan tradisi budaya lokal yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang
bertentangan dengan aqidah, syari’ah dan
akhlak Islam. Di samping itu, juga bersumber dari kerigidan pemahaman agama,
yang tidak memberi ruang kepada pluralitas budaya dan pemahaman keagamaan, dan
pemahaman terhadap ajaran Islam yang terlalu tekstual dan literal, dengan tidak
melakukan pemekaran makna, tidak menggunakan pendekatan rasional dan pendekatan
integratif (tauhidi).
Dalam kaitan dengan dengan pluralitas budaya dan tradisi
lokal, dakwah kultural, sebagaimana dikemukakan di muka, Muhammadiyah
memberikan sikap ko-eksistensi dan pro-eksisten dalam rangka tabsyiriyah,
tetapi pada saatnya Muhammadiyah melakukan islah dan tajdid, sehingga
seni dan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan aqidah, syari’ah dan
akhlak Islam dapat dipertahankan dengan memberikan isi dengan pesan-pesan
keislaman. Di samping itu melakukan kreasi baru dengan menawarkan kultur
alternatif yang merupakan ekspresi dari pengahayatan ajaran Islam, serta meluruskan
segala kultur, dan seni-budaya yang membawa nilai-nilai kemusyrikan, takhayul,
bid’ah dan khurafat menuju al-tauhid al-khalis. Dengan demikian sikap ko-eksistensi dan
pro-eksistensi merupakan konsekwensi pluralitas budaya dan sikap rasional
Muhammadiyah, akan tetapi sikap ini merupakan bagian dari proses dalam tahapan
dan marhalah dakwah. Sedangkan tujuan akhir dakwah cultural Muhammadiyah adalah
tujuan dakwah Islam itu sendiri, yaitu tegaknya aqidah, syari’ah dan akhlak
Islam secara kaffah, dan bersih dari syirk dan TBC. Wa fawqa kulli dzi 'ilmin 'Alim.
[1]QS. Ali
Imran: 159
[2]Tim PP
Muhammadiyah, Pedoman Umum Dakwah Kultural Muhammadiyah, 2002, p. 21, diperkaya
dengan prasaran dari Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah.
[4]H.M. Djindar
Tamimy, Pokok-pokok Pemahaman Islam dalam Muhammadiyah, tulisan lepas
tidak diterbitkan, 1985; lihat pula A. Rosyad Sholeh et.al, Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta:
Persatuan, 1980